Kondisi Ekonomi Ditengah Covid-19






Sebuah pandemi yang disebut dengan Covid-19 muncul menjelang akhir tahun 2019 dan menyebar ke seluruh negara di dunia. Covid-19 singkatan dari corona virus disease 2019 merupakan sebuah virus yang menyerang sistem pernapasan manusia dan parahnya dapat menyebabkan kematian.[1] Virus yang tidak kasat mata namun sangat berdampak pada kesehatan menjadi sebuah ancaman besar bagi kehidupan manusia. Masyarakat dunia seakan sedang berperang menghadapi musuh yang tidak dapat dilihat, sehingga sangat sulit menemukan formula pasti untuk mengakhiri ancaman Covid-19.
Indonesia pertama kali mengkonfirmasi kasus Covid-19 pada Senin, 2 Maret 2019. Pemerintah Indonesia melalui Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mencatat jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 per hari sabtu (9 Mei 2020) menjadi 13.645 setelah ada penambahan 533 orang. Sedangkan pasien yang dinyatakan sembuh menjadi 2.607 setelah ada penambahan sebanyak  113 orang.[2] Peningkatan jumlah pasien Covid-19 yang cukup signifikan menimbulkan kecemasan dikalangan masyarakat. Langkah  cepat dari berbagai elemen masyarakat sangat diperlukan dalam menangani penyebaran Covid-19. Pengambil kebijakan strategi yaitu Pemerintah, dituntut untuk mengambil kebijakan yang tepat dan tegas guna menghadapi bencana nasional Covid-19.  Sejak pertama kali mengkonfirmasi kasus Covid-19 sampai saat ini, berbagai kebijakan telah diambil oleh Pemerintah Indonesia. Social Distancing, Physical Distancing, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) adalah salah tiga dari berbagai kebijakan yang diambil pemerintah. Kebijakan tersebut cerminan upaya yang dilakukan untuk menekan dampak negatif dari Covid-19 pada berbagai bidang kehidupan.
Bidang kesehatan, ekonomi dan sosial adalah tiga bidang yang mengalami dampak besar akibat terjadinya bencana nasional Covid-19. Bidang ekonomi mengalami kelumpuhan yang cukup parah sejak diumumkannya kasus Covid-19 di Indonesia. Berbagai sektor usaha tidak dapat beroperasi dan para pekerja terpaksa dirumahkan bahkan di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Keadaan dunia usaha demikian menimbulkan kealpaan penghasilan bagi sebagian besar rakyat Indonesia.  Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan per Februari 2020 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 6.88 juta orang (naik 60.000 orang secara tahunan)[3]. Kementerian Keuangan memprediksi jumlah pengangguran di Indonesia akan meningkat signifikan seiring dengan potensi perlambatan pertumbuhan ekonomi tahun 2020. Perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat pandemi tersebut diperkirakan menambah 5 juta pengangguran dalam skenario sangat berat yang sudah dikaji pemerintah[4].
Stabilitas ekonomi negara harus tetap terjaga ditengah ancaman bencana non alam  yang menyebabkan pengeluaran negara bersifat insidental meningkat. Peningkatan pengeluaran negara tetap harus terpenuhi walaupun tidak ditopang oleh peningkatan penerimaan negara. Dua opsi yang dimiliki pemerintah untuk menjaga kestabilan ekonomi negara dalam kondisi ini yaitu meningkatkan penerimaan pajak atau menerbitkan surat utang negara. Keadaan sektor usaha ditengah bencana nasional tidak memungkinkan pemerintah untuk mengambil opsi meningkatkan penerimaan pajak. Pemerintah bahkan harus memberikan kemudahan kepada sektor usaha dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dengan memberikan insentif. Melalui Kementerian Keuangan pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pemberian insentif pajak pada berbagai sektor yang telah ditetapkan sejak  Maret 2020.  Peraturan Menteri Keuangan Nomor 23 Tahun 2020 (PMK No. 23 Tahun 2020)  tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Wabah Virus Covid-19 adalah respon pemerintah terhadap penurunan produktivitas para pelaku usaha[5].
Menurut Winardi, “Insentif Pajak (Incentive Taxation ) adalah pemajakan dengan tujuan memberikan perangsang. Penggunaan pajak bukan untuk maksud menghasilkan pendapatan pemerintah saja, melainkan pula memberikan dorongan ke arah perkembangan ekonomi, pada bidang tertentu yang dalam hal ini berkaitan dengan sektor usaha terdampak Covid-19.” Pada PMK No. 23 Tahun 2020 disebutkan bahwa insentif pajak diberikan dalam jangka waktu 6 bulan terhitung sejak masa pajak April 2020 sampai dengan masa September 2020. Insentif pajak diberikan atas Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21, PPh Pasal 22 Impor, angsuran PPh Pasal 25 (30% dari total angsuran), dan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Adapun dalam lampiran PMK No. 23 Tahun 2020 terdapat 440 Klasifikasi Lapangan Usahanya (KLU) yang mendapat insentif pajak dan ditambah menjadi 1062 KLU dengan ditetapkannya PMK Nomor 44 Tahun 2020. Namun masih banyak klasifikasi usaha terdampak Covid-19 yang KLU-nya belum mendapatkan fasilitas  insentif pajak, dibuktikan dengan adanya penolakan  pengajuan insentif pajak sebanyak 22.104 wajib pajak[6]. Penolakan tersebut menunjukan bahwa masih banyak sektor usaha yang terdampak Covid-19 namun belum mendapatkan perhatian dari pemerintah.

Pemerintah sempat mengeluarkan wacana akan menerbitkan Pandemic Bond sebagai surat utang negara khusus yang dihandalkan untuk menghadapi kemungkinan efek domino pasca pandemi. Pandemic Bond adalah utang obligasi yang diterbitkan pemerintah untuk pemulihan ekonomi pasca wabah Covid-19. Namun dalam rapat bersama DPR, Menteri Keuangan mengatakan bahwa kebijakan Pandemic Bond dibatalkan dengan alasan pemerintah saat ini fokus melakukan pembiayaan defisit yang diperkirakan membengkak hingga 5,07 persen dari PDB atau sekitar Rp 852,9 triliun dari pembiayaan umum APBN (above the line)[7]. Keputusan yang diambil oleh pemerintah tersebut dianggap sebagai inkonsistensi pemerintah dalam menghadapi dampak penyebaran Covid-19. Memastikan skema setiap kebijakan sebelum menyampaikan kepada publik harus menjadi fokus pemerintah ketika seluruh harapan rakyat bergantung pada kebijakan tersebut. Membuat statement atau kebijakan yang konsisten dan jelas akan membangun keyakinan masyarakat  bahwa setiap keputusan pemerintah dalam menghadapi Covid-19 berlandaskan pada prinsip-prinsip good governance yang memegang teguh transparansi dan akuntabilitas.





Komentar

Postingan Populer